Kamis, 06 Januari 2011

cerita: ia dan surabaya

Kala itu, dia ada dalam rombongan pemuda. Di kala ia masih bermimpi dalam malam yang terkekang. Ia pasti tak pernah lupa pada suara dentuman meriam yang diakhiri dengan teriakkan ultimatum penyerahan senjata oleh Sekutu yang berkhianat, yang selalu membuatnya bangun di pagi buta. Ia tak melihat sinar matahari masuk ke pembaringannya melalui celah jendela yang lapuk. Ia pun terduduk, berucap doa dan selamat pagi pada Tuhan dan memohonkan kemerdekaan. Ia mengenakan seragamnya, destar merah putihnya, dan pin merah putihnya. Ini hari terakhir penyerahan senjata, aku takkan menyerahkannya. Dan, aku akan menembakkan pelurunya tepat ke jantung mereka. Untuk Surabaya. Layaknya prajurit yang lain, ia pun bergegas mengambil senjatanya, menimangnya, lalu menyelempangkannya di bahu dan pergi tanpa sarapan, dan hanya harapan yang jadi bekalnya. Ia menyusuri jalan yang tidak rata, berkerikil dan berdebu. Sesaat sebelum ia kembali pada peluru, ia teringat ibu dan merenung sebab kekasihnya tengah menunggu.
Berjalan tegak, ia mencoba mencari sebuah asa di jalanan yang sepi dan rusak. Menengok ke semua penjuru sambil waspada akan tembakan-tembakan yang beradu. Ia menggenggam senapan yang dibawanya erat-erat. Hatinya gelisah memikirkan apa yang akan terjadi siang ini, apa akan masih ada bintang di malam setelah ini, dan apakah dia akan kembali bersama kekasihnya esok hari? Tak pernah ia bayangkan sekumpulan asap sisa meriam dan granat mengepul mengerumuninya dan kawan-kawannya, jalanan rata dengan bangunan di atasnya, dan peluru-peluru merenggut semua nyawa tanpa sisa. Ia berlari menuju markasnya di bantaran kali, yang harus menggunakan sandi-sandi untuk masuk dan beradu pendapat untuk hari ini.
Ia mengetuk pintu. Sesosok bayangan dari dalam gubuk kecil itu meneriakkan tanya. “Apa sandinya?” Lalu ia menjawab kencang sebuah kalimat panjang yang tak jelas, rumit dan membingungkan. Jelas tak ada manusia dari Inggris itu yang mengerti sandi itu. Itulah bukti kecerdasan manusia Indonesia di jaman itu. Kalimat selesai, pintu terbuka kecil dengan sepasang mata mengintip. Jelas, mata yang tak tidur malam tadi. Ia masuk. Terdengar mereka berbisik menyebut namanya. “Bores!” Di dalam telah berkumpul manusia-manusia harapan bangsa dengan kostum yang sama. Senapan bersandar di dinding anyaman bambu. Ia melihat mereka tak sedang menyusun rencana. Mereka diam dan melamun. Hanya sebagian yang sibuk beradu tanya. Mungkin mereka tengah memikirkan esok yang entah ada atau tidak. Lalu ia duduk, di sebuah kursi lapuk. Tak selang lama, ia bicara.
“Kawan, kapan mereka akan menyerang lagi?” katanya. Tak ada jawaban mencuat dari manapun. Tak ada yang berucap. Semua telah tahu, seorang Jenderal besar mati dan pasukan Inggris kala itu mengintai senjata Indonesia. Ultimatum dengan nada mengancam telah mengudara sedari kemarin. Bung Tomo juga tengah berteriak menembakkan senjata utamanya, yakni kata-kata yang lebih dahsyat dari ledakan granat Sekutu, yang benar-benar membakar semangat pemuda. Lalu ia memejamkan mata dan membungkukkan badannya, lalu menutup mukanya. Jelas tersimpul ketidaktahuan dari keheningan. Jadi mereka harus menunggu sebutir peluru meletus di langit atau granat meledak di samping gubuk mereka pertanda perang berkobar. Atau lebih parahnya manusia tanpa salah yang meraung dalam sepi dan membuat mereka berdiri mengambil senjata dan berlari menembaki angin. Mereka tak mungkin berjaga. Taktiklah yang membatasi mereka.
Teringat lagi wajah ibunya, wanita tua yang kulitnya hitam – maklumlah, beliau pernah merasakan hebatnya tersengat sinar ganas matahari di perkebunan neraka kuasa Nipon – dan menyimpan asa serta kesedihan. Lalu melintas bayang-bayang kekasihnya yang tersenyum melihatnya dengan senapan yang tak pernah dilepasnya. Ia masih memimpikan kemerdekaan yang sebenarnya. Bukan yang dibacakan dari hasil mesin ketik yang mula-mula hanya corat-coret semalaman. Ia percaya Tuhan akan memberikan sebuah kado indah esok hari, atau nanti malam. Lamunan memang indah.
Toorrrrrr ...
Lamunannya hancur. Semua terkejut mendengar sebuah letusan keras di atas gubuk mereka. Mereka terdiam sebentar, lalu bergerak tangkas mengambil topi dan menggendong senapan menuju medan perang. Ia berlari, berlari menuju kemerdekaan yang sebenarnya mereka nanti-nanti.
Mereka berlari diiringi langkah sepatu berat mereka yang bersahutan dengan tembakan yang semakin rapat terdengar. Tak makan waktu lama, mereka sampai di jalan raya besar. Kosong. Tak ada makhluk apapun. Tikus dan hewan lain pasti meringkuk ketakutan di sarang mereka. Pohon-pohon besar mulai membuka mata untuk menyaksikan perang besar. Tiba-tiba sebuah peluru meletus mengenai perut salah satu pemuda di barisan itu. Ia mati seketika. Darah segar membasahi baju hijau pudarnya. “Den!!!” Nafas mereka berhenti sesaat. Sebuah peluru telah mengantarkan Deden ke kematian. Tak ada lagi waktu untuk menangisi. Pada waktu itu kematian tak lagi menjadi hal yang asing dan tak perlu lagi kesedihan. Semua mengangkat senjata. Sekitar sebelas orang - tanpa Deden yang telah mati - dari gubuk di bantaran sungai menembaki semak-semak jauh di seberang lapangan, asal peluru yang membunuh Deden. Perang benar-benar berkobar di desa kecil itu. Mereka semua pasti tak tahu di seberang sana, bukan di kampung ini, Surabaya, perang lebih besar. Pemuda berceceran di jalanan. Entah sebagai pelaksana perang, atau sebagai mayat-mayat tak berguna.
Ratusan nyawa polos tanpa dosa terbunuh dengan sebuti peluru. Di jantung, di kepala, atau mungkin di kaki. Tembakan bersahut-sahutan. Suaranya terbang ke langit kelabu dan menyentuh menara radio. Ledakan granat menghancurkan bukit-bukit. Semua telinga terpusat ke Surabaya lewat kotak besi berantena, komunikasi utama, radio. Perang menjadi-jadi. Nyawa-nyawa tak terselamatkan. Para wanita diungsikan sebagian, lainnya beralih tugas jadi perawat. Sebuah tenda hijau tua didirikan. Sebuah bambu dijadikan penyangga. Banyak wanita-wanita muda membuat obat dan makanan. Pemandangan getir itu terlihat di bukit yang belum tersentuh kaki, mata, dan penciuman Inggris. Daerah lain berubah menjadi lautan darah. Bahkan ada yang jadi lautan mayat. Itu perang yang paling besar. Apa Tuhan mendengarnya? Letusan dan ledakan itu? Apa Tuhan mendengar?
***
Jika waktu siang itu mereka memejamkan mata, semua akan melihat mereka akan menjadi bagian dari lautan mayat dengan lubang penuh darah di dada atau kepala. Boris, lelaki yang berjuang demi bangsa, Negara, ibunda dan kekasihnya, tak menyangka ia bisa melihat kembali bintang-bintang penuh rahasia di balik kilaunya yang bersanding dengan agungnya bulan di malam setelah perang besar itu. Ia sedang berbaring di atas rerumputan kering di atas bukit perawatan yang sama sekali belum terjamah.
Tepat saat ia berbaring di atas bukit perawatan penuh korban dan wanita, sang kekasih mendekatinya. “Aku yakin kau akan selamat,” katanya, ia juga membelai rambut kasar yang sedari tadi tertutup. Mereka berpegangan tangan dan kembali menatap bulan. Mereka tahu Tuhan telah memberi angin dingin dari gunung. Sebuah kesejukan di hari panas penuh api dan peluru itu hanya sementara. Keheningan malam itu hanya dalam hitungan jam. Mereka tak peduli lagi. Mereka tetap menatap bulan. Menatap kebahagiaan abadi, yang sedang mereka perjuangkan, dengan peluru dan pemuda. Entah mereka tetap hidup dengan luka bakar, atau menjadi bagian dari korban di jalanan karena menantang peluru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar